PEMAHAMAN TEKS DAN KONTEKSTUAL
MAKALAH
PEMAHAMAN
TEKS DAN KONTEKSTUAL
Tugas
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Zumaro, M.A
KELAS A :
Pendidikan Bahasa Arab ( PBA )
Disusun Oleh :
M. Zainal Musthofa
NPM : 2171030015
FAKULTAS TARBIYAH
PASCASARJANA
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGRI
METRO – LAMPUNG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan waktu yang telah di tentukan. Shalawat serta
salam senantiasa tercurah limpahkan pada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW, sampai akhir zaman.
Makalah Mata Kuliah Ilmu Hadist yang berjudul
“Pemahaman teks dan kontekstual” dapat terselesaikan tepat waktu. Dengan
selesainya makalah ini tak lupa penyusun menyampaikan terimakasih pada Dosen
Pengampu, Teman- Teman yang telah
membantu menyumbangkan pikirannya memberi kritik dan saran yang membangun
sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Akhirnya penyusun harapkan agar hasil
dari makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembelajaran selanjutnya.
Metro, 16 September 201
M.
Zainal Musthofa
DAFTAR ISI
JUDUL................................................................................................................ I
KATA PENGANTAR......................................................................................... II
DAFTAR ISI....................................................................................................... III
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A.
Latar Belakang Masalah............................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah..................................................................................... 5
C.
Tujuan Masalah........................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 4
A.
Pembahasan............................................................................................. 6
1.
Pengertian........................................................................................... 6
2.
Landasan dalam memahami hadis........................................................ 12
3.
Batasan pemahaman kontekstual......................................................... 17
4.
Pemahaman kontekstual fazlurahman .................................................. 19
BAB III KESIMPULAN DAN PENUTUP.......................................................... 20
A.
Kesimpulan......................................................................................... 20
Daftar Pustaka...................................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Hadits Nabi yaitu sumber pelajaran
Islam, di samping al-Qur'an. "Hadits atau diartikan juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu
yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah
al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan
Islam itu sendiri. Hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber
aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan.
Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadits-nya,
dan menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka
menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur'an.[1]
Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi
terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan. Pada realitas kehidupan
masyarakat muslim, perkembangan hadits Nabi secara kuantitatif cukup banyak
sekali. Selain perkembangan hadits yang cukup banyak, juga banyak
istilah-istilah yang digunakan. Pada masyarakat umum yang dikenal adalah Hadits
dan as-Sunnah, sedangkan pada kelompok tertentu, dikenal istilah Khabar
dan Atsar.
Kemudian seluruh umat Islam, mengakui
bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. hadist mempati kedudukan
kedua setelah Al-Qur`an. Serta mengikuti
hadits bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama
halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an. Oleh karena itu, Hadits merupakan
penjelasan atau mubayyin bagi Al-Qur`an, yang karenanya siapapun yang tidak
bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai Hadits. Begitu pula
halnya menggunakan Haditst tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar
hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Hadits dengan Al-Qur`an memiliki kaitan
sangat erat, yang untuk digunakan serta mengamalkannya tidak bisa terpisahkan
atau berjalan dengan sendiri Al-Qur‘an itu menjadi sumber hukum yang pertama
dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur‘an sebagaimana.
Al-Qur‘an dan Hadits merupakan sumber utama
ajaran Islam dan merupakan pondasi umat Islam dalam memahami syariat. Pada
tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan
penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur‘an menyatakan bahwa Pokok-pokok ajaran Al-Qur‘an begitu dinamis
serta terus menerus, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang
lebih dari 12 abad lamanya, Sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber
ajaran Islam. Hadist menepati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. mengikuti hadits bagi umat Islam baik yang
berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti
Al-Qur`an. Tidak dipungkiri penggunaan Al-Qur’an akan lengkap jika disandingkan
dengan Hadist seperti dalam Qur’an diperintahkan untuk sholat dan hadist
menjelaskan bagaimana tata cara sholat. Dari contoh berikut saling mendukung
hubungan Al-Qur’an dan Hadist.
Hadits merupakan penjelasan bagi
Al-Qur`an, yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa
dengan memahami dan menguasai Hadits. Begitu pula jika menggunakan Haditst tanpa
Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya
berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara Hadits dengan Al-Qur`an
memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa
terpisahkan atau berjalan dengan sendiri. Al-Qur‘an itu menjadi sumber hukum
yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undanngan setelah Al-Qur‘an
Proses penulisan Hadist diawali
dengan adanya pikiran- pikiran para sahabat setelah wafatnya Rosulullah SAW,
bahwa pengambilan hukum tidak hanya berlandasan Qur’an melainkan hadist sebagai
pelengkap dari pertanyaan umat islam setelah wafatnya nabi, perlu di pahami
pengambilan landasan hukum pertama melalui Al-Qur’an jika Al-Qur’an belum
menemukan hasil dari permasalahan maka tinjauan hukum selanjutnya menggunakan
Hadist nabi dan ketiga melalui Ijtima dan jika ketiganya belum juga melengkapi
maka mengambil hukum melalui Qiyasi.
Mentaati Allah dan Rasulullah
Muhammad merupakan perintah al-Qur”an.[2]
Menaati Allah diinterpretasikan mengikuti perintah dan larangan-Nya, sedang
taat kepada Rasulullah adalah mengikuti sunnah atau hadisnya. Sebagai sumber
pokok ajaran Islam, keduanya memiliki perbedaan mendasar. Hadis tidaklah
bersifat qath„i al-wurud, sebab sebagian besar periwayatannya tidak
melalui proses yang tawatur, karena itu sebagian besar hadis Nabi bersifat zhanni
al-wurud, yakni “diduga kuat” disampaikan oelh Rosulullah bahwa penggunaan
hadist juga berkaitan dengan asbabul wurud atau sebab-seba kejadian, dan perlu
dipahami banyak perawi yang tidak menduga kuatnya hadist sehingga banyak
hadist-hadist yang palsu.
Memahami hadis atau sunnah merupakan
kegiatan yang rumit harus banyak belajar tentang baik dan buruknya hadist
tersebut, karena harus meneropong segala sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi
Muhammad saw. baik lisan, fiilnya maupun iqrarnya.dari generasi para sahabat
tidak ada ada permasalahan pada pengunaan hadist karena jika ada masalah yang
belum terselesaikan seperti permasalahan yang terkait dengan agama dan khususnya
sosial kemasyarakatan, hari kiamat, orang terdahulu, peperangan hukum dalma
sholat, fiqih dan lainya mereka bisa segera merujuk kepada Rasulullah,[3]di
samping itu tingkat kerumitan persoalan dunia yang relatif sederhana, sehingga
problem yang mereka hadapi pun lebih sederhana dibanding dengan zaman modern
saat ini. Hal yang sama terjadi pada generasi tabi‟in, di mana mereka
hidup tak jauh dari zaman nabi, disamping itu masih banyak warisan sejarah yang
hidup maupun warisan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi yang telah
diciptakan oleh nabi dan sahabatnya.
Berbeda dengan generasi muslim akhir
yang hidup pada abad modern,[4]
dimana dunia melahirkan berbagai pertanyaan yang pelik dan rumit, tidak hanya
untuk dicari jawabannya tetapi juga mengidentifikasinya. Karena kompleksnya,
banyak hal yang tak tersentuh oleh wilayah hadis sebagai sumber nilai dan
ajaran kedua setelah al-Qur’an.[5]
pada masa tabiin banyak permasalahan yang harus dipecahkan agar menjadi baik
pada permaslahan tersebut mereka tidak bisa menyelesaikan permasalahan setelah
nabi wafat sehingga perlu dasar serta pemahaman yang baik sehingga pemecahan
masalah bisa terselesaikan.
Kondisi tersebut di atas benar-benar
menantang kaum muslimin, sehingga sejumlah pakar dari kalangan modernis
berusaha menghidupkan kembali ruh hadis atau sunnah melalui
pendekatan-pendekatan mutakhir yang lazim disebut aliran “kontekstual” sebagai
perimbangan dan melengkapi nalar tekstual. Istilah kontekstual diambil dari
kata konteks yang berarti suatu uraian atau kalimat yang mendukung atau
menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu
kejadian atau lingkungan sekelilingnya.[6]
Dalam bahasa Arab digunakan istilah “alaqah,
qarinah, dan siyaq al-kalam”[7]. Kontekstual dalam hal itu adalah suatu penjelasan
terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan
atau segala yang disandarkan pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika
hadis itu ditampilkan.[8]
Berbeda dengan pendekatan kontekstual, pendekatan tekstual adalah cara memahami
hadis yang cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan
dari sudut gramatika bahasa dengan pola pikir episteme bayani. Eksesnya,
pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dipahami sebagai sesuatu yang final dan
dogmatis.[9]
Kelemahan mendasar dari pemahaman secara tekstual adalah makna dan ruh yang
terkandung dalam hadis akan teralienasi dengan konteks atau situasi dan kondisi
yang terus berkembang pesat. Menurut Syahrur secara riil, hadis Nabi banyak
yang mengambil setting dan latar situasi serta kondisi Arab ketika itu,
sehingga hukum berlaku sesuai dengan konteks masanya. [10]
Pemahaman Umat islam terkain teks dan
kontekstual belum terlalu mendasar terkadang satu hadist bisa dibilang tidak
sesuai dengan masanya, secara kontekstual hadist dapat dipakai kapan saja
dengan alasan ada kebaikan serta manfaat pada sebuah hadist tertentu jika ada
yang lemah perlu dikaji ulang serta memahami tekstual serta kontekstual sebuah
hadist. Tekstual bisa dibilang bagaimana periwayat melakukan perjalanan dan
menemukan hadist tersebut hingga ke Rosulullah dan tekstual secara menyeluruh
bahwa hadist bisa digunakan dengan jangan masa yang panjang sedangkan
kontektual adalah kondisi hadist dari
perkataan perbuatan serta ketetapan Rosullulah pada hadist-hadiatnya pada
pengambilannya.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah pada makalah ini yaitu
1.
Pengertian
Teks dan Kontekstual ?
2.
Apa
Landasan dalam memahami hadist ?
3.
Apa
Batasan pemahaman kontekstual ?
4.
Bagaimana
Pemahaman kontekstual menurut
fazlurahman ?
C.
Tujuan masalah
1.
Mengetahui Pengertian Teks dan Kontekstual
2.
Mengetahui
Landasan dalam memahami hadist
3.
Mengetahui
Batasan pemahaman kontekstual
4.
Mengetahui
Pemahaman kontekstual menurut
fazlurahman
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tektual dan Kontekstual dalam studi hadist
1.
Tekstual
Tektual
asal dari kata teks yang berarti kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari
kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, bahan tertulis sebagai dasar
memberikan pengajaran.[11] Pendekatan tekstual
adalah cara memahami
hadis yang cenderung memfokuskan pada
data riwayat dengan
menekankan kupasan dari
sudut gramatika bahasa dengan
pola pikir episteme bayani. Eksesnya, pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dipahami
sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.
Penguatan
tekstual perlu dilihat kuatnya rawi dan mtan dari sebuah hadist pelu di pahami
pendekatan hadist secara tekstual menekan bahasa yang diapakai serta tatanan
bahasa yang diapak pada hadist tersebut. Penguatan tekstual diperlukan bukti
serta isi moral dan kandungan pada teks tersebut untuk menghidarkan perawi yang
tidak sampai pada rosulullah, sehingga banyak hadist palsu yang beredar di
kalangan masyarakat.
Analisa teks
hadits sebagai upaya
menemukan pesan-pesan moral
atau pesan-pesan agama yang terkandung di dalamnya, ada beberapa asumsi
dasar yang perlu digarisbawahi. Tanpa
landasan yang jelas
dalam proses pemahaman, seorang
analisis tidak dapat
menentukan pangkal tolak analisisnya dan
tidak dapat memilih
dan memilah kasus-kasus
kehadisan.Tanpa itu, dapat
saja orang akan
terjebak pada kasus
yang sesungguhnya merupakan masalah
marginal dalam agama
dan mengabaikan atau
tidak berkesempatan
menelaah, memikirkan, dan
mengembangkan hal-hal yang bersifat
substantif. Orang dapat
terjebak dan disibukkan
oleh warna kulit tanpa sempat menguak isinya.Pada kasus-kasus
yang bersifat kontekstual
dapat saja orang
terkurung oleh formalisme tekstual,
atau sebaliknya pada
kasus-kasus yang sangat tekstual dibolak-balik sehingga makna
kesucian agama menjadi hilang. Karena itulah,
kiranya sangat diperlukan
sejumlahasumsi dasar atau
postulasi keilmuan Islam sebagai acuan dan titik awal kajian teks hadits
2.
Kontekstual
Kontekstual berasal dari kata konteks di didalam
KBBI mengartikan dua makna :
a.
Bagian suatu uraian atau
kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan arti
b.
Situasi hadist mempunyai
hubungan dengan suatu kejadian
Pendekatan kontekstual malaui seorang penafsir
memposisikan sebuah teks ke dalam sebuah jaringan wacana, hal itu diibaratkan
sebuah gunung es, teks adalah fenomena kecil dari puncak gunung yang tampak di
permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya
darimana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka sulit menangkap makna
pesan dari sebuah teks Sama, dengan
Al-qur’an, sejumlah hadits
dalam upaya pemahaman sangat erat hubungannya dengan
konteks tertentu, misalnya kapan Rasulullah menyampaikan beritaatau bersikap, bertindak
atau berperilaku, dimana, dalam kondisi bagaimana, kepada siapa beliau
menyampaikan, dan sebagainya
Analisa Hadis atau sunnah dengan sifatnya yang zhanni al-wurud,
seringkali mendapat sorotan tajam bahkan sebagai bahan eksperimen “operasi
bedah” terhadap kesucian agama yang pada akhirnya pengingkaran atas otentisitas
hadis atau sunnah. Sebagai contoh, Ignas Goldziher dan Joseph Schacht[12]
menyatakan bahwa sunnah merupakan kesinambungan dari adat istiadat pra-Islam
ditambah dengan aktivitas pemikiran bebas para pakar hukum Islam awal.
Selanjutnya mereka menyatakan hadis hanyalah produk kreasi kaum muslimin
belakangan, mengingat kodifikasi hadis baru dilakukan beberapa abad sepeninggal
Rasulullah saw.[13]
pernyataan itu membuat para umat islam marah terhadap pernyataan tersebut,
tanpa mereka ketahui proses penulisan hadist serta penguatan hadist memerlukan
waktu yang banyak untuk menemukan sanadnya kepada para perawi.
Secara faktual mempunyai perbedaan mendasar antara hadis dan
al-Quran. Al-Qur‟an secara redaksional, disusun oleh Allah SWT, malaikat Jibril
sebagai penyambung lidah sampai pada Muhammad, kemudian Muhammad menyampaikan
kepada umatnya dan umatnya langsung menghafal dan menulisnya. Kemukjizatan
Al-Qur’an adalah tidak akan mengalami perubahan sepanjang zaman, bahkan Allah
sendiri telah menjamin akan keotentikannya. Atas dasar itulah, wahyu Allah
digolongkan sebagai qath‛i al-tsubut.[14]
Berbeda dengan al-Qur’an, hadis hanya berdasarkan hafalan
sahabat dan catatan beberapa sahabat serta tabi‟in. Meskipun demikian, profil
sahabat dan tabi‟in dapat dibuktikan kredibilitasnya dalam hal kejujuran,
keteguhan, ketulusan, dan upayanya yang selektif untuk merawat serta meneruskannya
pada generasi berikutnya dan ditopang kondisi masyarakat yang kondusif. Untuk
itu, patutlah hadis atau sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua, dan
bahkan tradisi kehidupan Nabi merupakan bentuk pranata Islam yang konkret dan
hidup sebagai penerjemahan al-Qur‟an. Hal lain yang menjadi permasalahan yang
mengemuka dari sisi internal diri Muhammad sebagai figur Rasul akhir zamn
adalah secara otomatis ajaran-ajarannya berlaku sepanjang zaman, sementara
hadis sendiri turun dalam kisaran tempat dan kondisi tertentu, sebatas yang
sempat dijelajahi Rasulullah saw. Di samping itu, tidak semua hadis secara
eksplisit mempunyai asbab al-wurud untuk diketahui status hadis bersifat “amm
atau khash. Dengan demikian hadis perlu dipahami secara tekstual maupun kontekstual.Memahami
hadis secara tepat dan proporsional perlu diketahui posisi dan fungsi
Rasulullah saat hadis diutarakan. Apakah posisi Muhammad sebagai seorang Nabi,
Rasul, kepala pemerintah, hakim, panglima perang, suami, atau manusia biasa?,
karena posisi atau peran yang dimainkan, menjadi acuan untuk memahami hadis
agar tetap shalih li kulli zaman wa makan. Berdasarkan beberapa
pertimbangan tersebut di atas, secara garis besar, ada dua tipologi pemahaman
ulama atas hadis: pertama, pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan proses
sejarah yang melahirkannya “ahistoris”, tipologi ini disebut tekstualis; kedua,
pemahaman kritis dengan mempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadis, dan
konteks yang mengitarinya, pemahaman hadis dengan cara yang demikian, disebut
kontekstual.
Dengan demikian, asbab
al-wurud dalam kajian kontekstual merupakan bagian yang paling penting. Hal
kajian yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pada
asbab al-wurud dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas
dari itu meliputi konteks historis-sosiologis di mana asbab al-wurud merupakan
bagian darinya. Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti
memahami hadis berdasarkan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis
diucapkan, dan kepada siapa hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi saw.
dipahami melalui redaksi lahiriah dan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di
sini kelihatannya konteks historis merupakan aspek yang paling penting dalam
sebuah pendekatan kontekstual, namun konteks redaksional juga tak dapat
diabaikan.
Bagian terakhir itu tak kalah pentingnya yaitu dalam
rangka membatasi dan menangkap makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga
hadis tetap menjadi komunikatif. Pendekatan kontekstual, menurut Kamaruddin
Hidayat, seorang penafsir memposisikan sebuah teks ke dalam sebuah jaringan
wacana, hal itu diibaratkan sebuah gunung es, teks adalah fenomena kecil dari
puncak gunung yang tampak di permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar
belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka
sulit menangkap makna pesan dari sebuah teks.[15] Untuk
memahami hadis dengan pendekatan
kontekstual, para sahabat Nabi sudah mulai melakukannya, bahkan ketika Nabi
masih hidup. Apa yang dilakukan oleh sebagian sahabat terhadap hadis “jangan
kamu shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraydhah” merupakan contoh
yang cukup layak.
Dari perkatan nabi
diatas para sahabat sudah memahami hadis
tersebut secara kontekstual dengan menangkap maksud dan tujuan nabi, sehingga
mereka tetap melakukan shalat Ashar pada waktunya di dalam perjalanan. Sedang
sebagian lainnya memahami secara tesktual shalat Ashar di perkampungan Bani
Quraydhah meski pun hari telah gelap.[16]
Contoh lainya ketika Umar
bin Khathab, ketika tidak mengikuti praktek Rasul membagikan tanah hasil
rampasan perang. Ia tidak membagikan tanah taklukan Irak kepada para
tentaranya, melainkan justru membiarkannya di tangan para pemiliknya dengan
catatan mereka harus membayar upeti. Akan tetapi tampaknya Umar sangat jeli
melihat dua konteks yang berbeda. Pembagian tanah Khaibar oleh Rasulullah di
masa permulaan Islam merupakan kemaslahatan pada saat itu. Tetapi pada masanya,
kemaslahatan ada dengan tidak dibagikannya tanah tersebut.[17]
Salian itu Imam Syafii juga banyak melakukan pemahaman
kontekstual atas hadis nabi. Pemahaman kontekstual yang dilakukan Imam Syafii ada
kalanya hadis-hadis yang secara zahir
terlihat bertentangan. Indikasi yang dapat ditangkap dari pernyataan Syafii adalah
sulit diterima adanya hadis-hadis yang mengandung makna yang kontradiksi
(mukhtalif). Karena itu, di samping beberapa cara penyelesain lain semisal nasikh
mansukh dan tarjih, Syafii menyelesaikannya dengan diskusi yang salah
satunya adalah pemahaman kontekstual. Pemahaman yang dilakukan Imam Syafii sangat
bertumpu pada sabab al-wurud hadis. Sebagai contoh Rasulullah pernah
melarang buang air menghadap atau membelakangi kiblat, namun dalam hadis yang
lain membolehkannya.
Menurut Imam Syafii, masyarakat Arab pada dasarnya tinggal di
padang yang luas dengan tempat tinggal di barak-barak yang tidak punya tempat
tertutup (untuk buang hajat). Oleh karena itu, mereka pergi ke padang bebas,
sehingga jika posisinya menghadap kiblat atau membelakanginya, maka otomatis
mereka menghadap atau membelakangi orang-orang salat dalam keadaaan aurat
terbuka, karena itu Rasulullah melarangnya. Namun jika situasi mereka yang
tinggal di rumah yang memiliki tempat (kamar) tertutup, maka rosulullah tidak
melarangnya, sebagaimana Ibn Jarir menjelaskaan bahwa ia melihat
Rasulullah buang hajat dengan posisi membelakangi Ka’bah.[18]
Pendekatan kontekstual yang dilakukan oleh sebagian sahabat
masih dalam tahapan yang sangat sederhana. Demikian pula yang dilakukan oleh
Imam Syafii adalah dalam kaitannya dengan hadis-hadis mukhtalif yang ditulisnya
dalam kitab al-Umm dan al-Risalah dengan hadis-hadis yang bertolak belakang.
Usaha-usaha yang demikian itu telah menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya
untuk meneruskan dan mengembangkan metode ini, sebagaimana Yusuf
al-Qardhawi, Muhammad al-Ghazali, banyak menulis tentang metode pemahaman
ini. Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadis merupakan
aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadis yang akan diamalkan.
Sayangnya, menurut Afif Muhammad pendekatan kontekstual atas hadis Nabi saw,
belum mendapat perhatian serius. [19]
B. Landasan
dalam memahami hadist
Landasan
dalam memahami hadist perlu banyak variable serta gagasan yang harus
dipertimbangkan agar lebih bisa dikatakan benar mengenai gagasan yang hendak
disampaikan oleh rosul. Jika tanpa memahami sebuah hadist serta motif dan dibalik
penyampaian sebuah hadist. Suasana psikologi, dan sasaran ucapan nabi terhadap
sebuah hadist. Dan disadari ucapan dan pengucapanya bergantung pada suasana
psikologinya dan sasaran ucapan saling bertautan.
Secara garis
besar, ada tiga
tipologi pemahaman ulama
atas hadis:
1.
Pemahaman atas
hadis Nabi tanpa
mempedulikan proses sejarah yang melahirkannya “ahistoris”,[20]
tipologi ini disebut tekstual
2.
pemahaman
kritis dengan mempertimbangkan
asal-usul (asbab al-wurud)
hadis, dan konteks yang mengitarinya, pemahaman hadis
dengan cara yangdemikian, disebut kontekstual. Pemahaman kontekstual
atas hadis menurut
Edi Safri adalah memahami hadis-hadis Rasulullah
dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi
yang melatar belakangi munculnya, atau dengan kata lain,memperhatikan dan
mengkaji konteksnya.
3.
Asbab
al-wurud dalam kajian kontekstual merupakan bagian yangpaling
penting. Hal kajian yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya
terbatas pada asbab al-wurud dalam
artikhusus seperti yangbiasa
dipahami, tetapi lebih
luas dari itumeliputi konteks historis-sosiologis di
mana asbab al-wurud merupakan bagian darinya
Dalam Islam dan kehidupan kaum muslim, Nabi memiliki banyak
fungsi: sebagai rasul, panglima perang, suami, sahabat dan lain-lain. Dengan
demikian, hadis-hadis tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan
fungsi-fungsi itu. Untuk mengetahui
hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengkaitkannya pada fungsinya tatkala
melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya. Sebagai contoh, Nabi melarang
salah seorang Anshar mengawinkan pohon kurma, maka orang Anshar tersebut
mematuhinya karena menganggapnya sebagai wahyu atau masalah keagamaan. Ternyata
hasilnya kurang memuaskan dibanding dengan mengawinkannya, karena para rasul
diutus tidak lebih dari sekedar untuk perbaikan moral keagamaan. Rasul pun bersabda:
“Saya melarang dengan pemikiran saya. Oleh karena itu, kamu jangan mencelanya”
sampai akhirnya beliau bersabda: “antum a‛lam bi umur dunyakum.”
Al-Qur’an
dan Hadist sebagai sumber ajaran Islam, satu sama lainnya tidak bisa
dipisahkan, Al_qur’an memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang
perlu dijelaskan dan diperinci lagi. Hadist merupakan sumber kedua menguraikan
segala sesauatu yang disampaikan dalam Al-Qur’an secara global, samar,dan
singkat. Dengan demikian Al-Qur’an dan Hadist menajdi satu kesatuan pedoman
bagi umat islam.[21]
Para ulama ahli hadis telah menetapkan lima persyaratan untuk
menerima-baik hadis-hadis Nabi saw.: tiga berkenaan dengan sanad (mata rantai
para perawi) dan dua berkenaan dengan matan (materi hadis): [22]
1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang
dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti dan benar-benar memahami
apayang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti
aslinya.
2. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang
yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan
tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan.
3. Kedua sifat tersebut di atas (butir 1 dan 2) harus dimiliki oleh
masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal
itu tak terpenuhi pada diri seseorang saja dari mereka, maka hadis tersebut
tidak dianggap mencapai derajat shahih.
4. Mengenai matan (materi) hadis itu sendiri, ia harus tidak
bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam
pe-riwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih
dapat dipercaya).
5. Hadis tersebut harus bersih dari'illah qadihah (yakni
cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka
menolaknya)
Pemahaman
kontekstualitas ini sebagai sebuah teori dalam lintasan sejarah sudah diawali
pembahasannya oleh Imam Syafi’I dalam kitabnya, Ar-Risalah,
dan kitab yang lebih khusus, Ikhtilaf al-hadits. Termasuk dalam pemikiran ini
juga, karya-karya para ahli hadits yang berbicara tentang asbab al-wurud
al-hadits,.[23]
Dalam diskursus ilmu
hadis juga dikenal bahwa hadis itu ada yang memiliki asbabul wurud khusus, ada
pula yang tidak. Untuk kategori pertama, yakni hadis-hadis yang memiliki sebab
khusus kita dapat menggunakan perangkat ilmu yang disebut asbabul wurud dalam
memahami maknanya. Persoalannya adalah bagaimana jika suatu hadis itu tidak
memiliki asbabul wurud secara khusus. Disinilah barangkali relevansi judul yang
penulis tawarkan, yakni adanya kemungkinan melakukan analisis pemahaman hadis
(fiqhul hadis) dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis bahkan
mungkin pendekatan psikologis.
Hal itu berangkat dari
suatu asumsi dasar bahwa ketika Nabi SAW bersabda pasti beliau tidak lepas dari
situasi kondisi yang melingkupi masyarakat pada waktu itu. Dengan lain
ungkapan, adalah mustahil Nabi SAW bicara dalam ruang yang hampa sejarah (vakum
historis). Bagaimanapun sebuah gagasan atau ide termasuk dalam hal ini bersabda
Nabi SAW. Selalu based on historical problems, yakni terkait dengan problem
historis-kultural waktu itu.
Hadist juga merupakan
landasan tradisi dalam islam perlu pendekatan dan pemahaman dasar-dasar secara
tekstual dan kontekstual yaitu :
1.
Konteks Historis
pendekatan historis dalam hal ini
adalah suatu upaya memahami hadis dengan cara mempertimbaingkan kondisi
historis, empiris pada saat hadis itu disampaikan Nabi SAW. Dengan kata lain,
pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengaitkan
antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan
determinasi-determinasi sosial dan situasi historis kultural yang
mengintarinya.
Pendekatan model ini sebenarnya sudah
dirintis oleh para ulama hadis sejak dulu, yaitu dengan munculnya ilmu Asbab
al-Wurud yaitu suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab mengapa Nabi
menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkannya. Atau ilmu yang berbicara
mengenai peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada hadis
disampaikan oleh Nabi.
2.
Konteks Sosiologis
Kedua
sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku
itu.
3.
Konteks Antropologis
antropologi
memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang
dianut dalam kehidupan masyarakat manusia.
Dengan
pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis semacam itu,
diharapkan akan mampu memberikan pemahaman hadis yang relatif lebih tepat,
apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga
dalam memahami hadis kita tidak hanya terpaku pada dhahirnya teks hadis,
melainkan harus memperhatikan konteks sosio-kultural waktu itu.
Persyaratan-persyaratan
tersebut cukup menjamin ketelitian dalam penukilan serta penerimaan suatu
berita tentang Nabi saw. Kita berani menyatakan bahwa dalam sejarah peradaban
manusia tak pernah' dijumpai contoh ketelitian dan kehati-hatian yang
menyamainya. Namun, yang lebih penting lagi adalah kemampuan yang cukup untuk
mem-praktekkan persyaratan-persyaratan tersebut.
Kalau kita mencoba menggambarkannya dengan pendekatan
historis, sosiologis, dan antropologis secara sintetik, maka hadis yang juga
merupakan fenomena keagamaan dan yang berakumulasi pada perilaku manusia dapat
didekati dengan menggunakan ketiga model pendekatan tersebut, sesuai konteks
masing-masing. Tegasnya, pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis
dapat disebut sebagai asbabul wurud’am (asbabul wurud secara
makro).
Contoh pemahaman
hadist mengunakan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis,
Hadist tentang
larangan wanita berpergian tanpa mahromnya :
قال رسول الله صلى الله علية وسلم : لا
تسافر امرأة إلا معها محرم
Tidak di perbolehkan
seorang permempuan pergi tanpa mahromnya (Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim)
Hadis tersebut,
sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim dipahami
oleh jumhur ulama sebagai suatu larangan bagi wanita untuk berpergian yang
bersifat sunnah atau mubah, tanpa disertai mahram atau suaminya. Sedangkan
untuk berpergian yang sifatnya wajib, seperti menunaikan ibadah haji, para
ulama berbeda pendapat.
Dari paparan hadist
diatas tidak mempunyai ashabul furud, sementara masyarkat dizaman sekarang
historis dan sosiologi dari hadist diatas dilatarbelakangi adanya ketakuan
Rosulullah SAW terhadap wanita pada masa itu yang mana tidak diperbolehkan
untuk berpergian tanpa ada mahromny, pada segi sosiologis pada masa itu mereka
berpergian dengan onta atau berjalan kaki dan meraungi padang pasir dan
jaraknya bisa berkilo meter, sedangan tidak etis serta tidak baik jika dizaman
sekarang wanita berpergian sendirian.serta tidak berlaku pada masa sekarang
dengan adanya sistem canggih serta adanya HAM pada zaman sekarang keamanan
wanita jika berpergian terjamin contohnya haji, treveling, mudik dan lainya.
Dengan demikian, di sini perlu reinterpretasi baru mengenai konsep mahram.
Mahram tidak lagi harus dipahami sebagai person akan tetapi sistem keamanan
yang menjamin keselamatan bagi kaum wanita itu. Pemahaman semacam ini tampaknya
akan lebih kontekstual, apresiasip dan akomodatif terhadap perubahan dan
perkembangan zaman. Sehingga kita tidak hanya terpaku dan terjebak oleh bunyi
teks hadis yang kadang cenderung bersifat kultural, temporal, dan lokal.
Pemahaman yang mempertimbangkan konteks historis, sosiologis, dan antropologis
cenderung lebih lentur, kenyal, dan elastis. Namun kemudian hal ini, tidak
berarti kita harus kehilangan ruh semangat nilai yang terkandung dalam hadis
tersebut.
Banyak ulama yang bertakwa dan bertanggung jawab dan sangat teliti dalam
memelihara sunnah Muhammad saw. Cara-cara mereka untuk menyaring sanad-sanad
hadis sungguh merupakan hal yang sangat terpuji dan layak dikagumi oleh siapa
saja. Dan di samping mereka, banyak pula para ahli yang meneliti matan-matan hadis
kemudian memisahkan mana yang dinilai syadz atau bercacat. Jelas bahwa untuk
menetapkan sahihnya suatu hadis dalam segi matannya diperlukan ilmu yang
mendalam tentang Al-Quran serta kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari
ayat-ayatnya, baik secara langsung ataupun tidak. Juga ilmu tentang berbagai
riwayat lainnya, agar dengan itu semua dapat dilakukan perbandingan antara yang
satu dengan lainnya, ditinjau dari segi kuat atau lemahnya masing-masing.
Selanjutnya para ulama memandang junjungan kita Muhammad saw. sebagai
teladan, mengarahkan perhatian mereka kepada segala apa saja yang berkaitan
dengan pribadi agung itu, baik berkaitan dengan hukum atau tidak. Bahkan mereka
menganggap bahwa segala sesuatu yang dinisbahkan kepada beliau, baik sebelum maupun
sesudah beliau diangkat menjadi nabi, adalah Sunnah. Sementara itu, ulama ushul
fiqh membatasi bahasan-bahasan mereka, yang berkenaan dengan Rasul saw, hanya
dalam persoalan-persoalan yang dapat dijadikan kaidah-kaidah hukum. Sedangkan
ulama fiqih membatasi pembahasan mereka yang berkaitan dengan Rasul saw. hanya
pada masalah-masalah yang berhubungan dengan perincian hukum syariat, yakni
apakah ia wajib, sunnah, haram, makruh, atau mubah.
C. Batasan
pemahaman kontekstual
Secara umum M. Sa‛ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan
kontekstual meliputi dua hal, yaitu:
1.
Dalam bidang ibadah mahdlah
(murni) tidak ada atau tidak perlu pemahaman kontekstual. Jika ada penambahan
dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi, maka hal
tersebut adalah bid`ah.
2.
Bidang di luar ibadah murni
(ghayr mahdlah). Pemahaman kontekstual perlu dilakukan dengan tetap
berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik
baru yang menggantikan legal spesifik lamanya. batasan-batasan tekstual (normatif)
meliputi:
a.
Ide moral/ide dasar/tujuan
di balik teks (tersirat). Ide itu ditentukan dari makna yang tersirat di balik
teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu, dan intersubjektif.
b. Bersifat absolut, prinsipil, universal, dan fundamental.
c. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’Asyarah bi
al-maruf.
d. Terkait relasi antara manusia dan tuhan yang bersifat universal
artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan di mana pun
tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya
“shalat”, dimensi tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk
melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun
selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat”
sangat tergantung pada konteks si pelakunya
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat dipahami, mengapa untuk ibadah murni (mahdlah) tidak
perlu dipahami secara tekstual. Menurut analisa penulis di sinilah peran
Muhammad sebagai Rasulullah, beliau punya otoritas penuh tanpa campur tangan pikiran
manusia, dan itulah yang dimaksud firman Allah: ‛‛Dan tidaklah yang
diucapkannya itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan kepadanya.” [24]
Sedangkan di luar ibadah murni (ghayr
mahdlah) diperlukan pemahaman secara kontekstual dengan tetap berpegang
pada moral ideal serta manusia untuk mengingat Muhammad saw. itu sebagai
Rasulullah di akhir zaman sehingga syariatnya berlaku untuk kapan dan di mana
saja. Di samping itu perlu dipahami pula, bagaimana posisi hadis disampaikan.
Apakah Muhammad saw. dalam posisi sebagai qadli (hakim), pemimpin negara atau
manusia biasa.
D. Pemahaman
kontekstual fazlurahman
Pemahamana Kontekstual menurut fazlu
Rahman mengembangkan pola pikir menjadi dua tipologi bagian :
1.
Tradisionalis
2.
modernis
interaksi inisiatif pemikiran dan pemahaman Rahman
terhadap sejarah dan kebenaran dalam islam. Akan tetapi tidak cukup kemungkinan
banyak berpendapat berbeda dengan model pemahaman yang dipegang teguh oleh
mayoritas kesarjanaan islam tradisional. Pemahaman Rahman contohnya berhadapan
dengan oemahaman islam yang dicapuri dengan sarjana barat, serta menerima
pemahaman islam barat dengan perlahan mencuat, yang berhubungan dengan
historiografis islam. Mereka juga menolah pemahaman humanism presepsi barat,
dan pemahaman agama baginya merupakan pola pikir yang terus berkembang.
Pandangan ini pada dasarnya
memperoleh penolakan keras pemahaman Abdul Rouf yang sangat apologis, yaitu
memprotes epistemologi sarjana Barat dalam memperlakukan materi Islam.
Selanjutnya bagaimana sikap Rahman menghadapi benturan pemikiran antara
tradisionalis dan modemis seperti di atas ? Apakah dengan reaksi itu Rahman kemudian
berpihak kepada salah satu paham di atas? Sedangkan itu Rahman juga memfokuskan
pemikirannya ke para penafsir Kristen Eropa, misalnya Hans Georg Gadamer, ia
bermaksud untuk mengetangahkan artikulasi hermeneutik al-Qur'an dan al-Sunah. Ia setuju dengan pendapat Barat bahwa wahyu
mempunyai konteks historis.
Pada pandangan Rahman
historisisme juga terdapat dalam Al-Quran itu sendiri karena telah
diperlihatkan pembentukan progresif atas nilai-nilai fundamental serta
kebebasan dalam mempertanggungjawabkan legistasi hukum, untuk memahaminya
seseorang dapat melihat detail sejarah dan mengontekstualisasikan ayat-ayat
dalam Al-Qur’an, terkadangan pemahaman islam juga tidak bisa dilepaskan dari
makna historisnya dan historitas harus hidup dengan isalm melaui interpretasi.
Selain itu juga Rahman
mengemukakan bahwa merka kurang pandangan terhadap kejelasan serta
ketidaktahuan evolusi hadist, tanpa landasan baik dari segi bahasa maupun
pengertian terkadang merka mengatakan bahwa hadist adalah karangan cerita
belakang dan mereka mengabaikan bahwa itu bukan dari bagian dari nabi muhammad.[25]
Selanjutnya pemikirannya yang menyatakan bahwa cara
pewahyuan al-Qur'an itu lebih merupakan proses psikologis. Fazlur Rahman
menggambarkan bahwa ketika dalam kondisi persepsi moral Nabi Muhammad mencapai
puncak tertinggi, maka al-Qur'an diwahyukan bersama-sama dengan semangat
inspirasi itu sendiri. Dengan kata lain sekalipun al-Qur 'an itu kalam ilahi,
namun secara bersamaan pula ia berkaitan erat dengan kepribadian Nabi Muhammad
Implikasi dari
pandangan ini adalah penolakan Rahman terhadap agen eksternal yang terlibat
dalam pewahyuan, yaitu Jibril yang digambarkan laksana tukang pos yang
mengantarkan surat-surat. Inilah
sebabnya Rahman mengakui bahwa dirinya perlu banyak belajar tentang Islam dari
pandangan-pandangan sarjana Barat, sama halnya ia juga perlu belajar banyak
dari pandangan sarjana muslim. Karena
pandangan Barat yang sarat dengan analisis historisnya, sementara pesan-pesan
nonnatifitasnya yang selalu dipegang teguh oleh para sarjana muslim. Pemikiran
Fazlur Rahman dengan aliran yang dipilihnya, tentu tidak bisa dipisahkan dari
latar belakang intelektual dan sosial-kulturalnya serta politik dimana
hidupnya, baik di Pakistan sebagai tanah kelahirannya maupun tempat
perkembangan awal keilmuannya, atau dunia Barat yang kritis sebagai bagian dari
intelektualnya
Pengaruh itu tampak
secara kental pada model paradigmatik yang menjadi pilihannya, yaitu paradigma
neo-modemisme. Suatu paradigma yang berusaha untuk bersikap kritis analitis
serta objektif terhadap pemikiran di dunia kesarjanaan muslim serta berbagai
gagasan-gagasan yang muncul dari dunia Barat. Pandangan lain mengatakan bahwa
neo-modemisme adalah suatu modernisme Islam plus metodologi yang mantap dan
benar untuk memahami al-Qur'an dan sunah Nabi. Komitmen Fazlur Rahman dengan
neo-modernismenya ini, terletak pada aspek pemahaman yang komperehensit:
kontekstual serta ijtihad yang dilakukannya secara berkelanjutan.
Selain itu terdapat
juga beberapa faktor problem epistemology studi hadsit fazlur Rahman
berupa Pola pemikiran Rahman yang dihadapkan pada keragaman dan perbedaan
sebagaimana di atas, telah membawa alam pemikirannya ke arah paradigma
neo-modemisme, suatu paradigma yang berusaha untuk bersikap kritis, analitis
dan objektif terhadap berbagai keragaman pemikiran yang senantiasa bennunculan.
Hubungannya dengan tema ini adalah bagaimana ia menghadapi telaah kritis dan
analitis terhadap sunah dan hadis.
Diantara problem
epistemologis Rahman dalam melakukan setudi hadis ini ialah ia menghadapi dua
model tipologi pemikiran Islam yang kontradiktif. Dua model tipologi pemikiran
itu ialah pemikiran tradisionalis dan pemikiran modernis. Problem yang pertama
berhubungan dengan bagaimana strategi Rahman menghadapi kelompok tradisionalis
dalam melakukan studi terhadap hadis? Problem kedua adalah bagaimana pula ia
menghadapi kelompok modemis yang melakukan sasaran studi yang sama, yaitu studi
hadis? Dua model tipologi itu bagi Rahman dianggap sebagai problem epistemologis,
karena dalam prakteknya setiap kali ia melakukan studi dengan objek apapun ia
selalu dibayangi oleh dua wajah tipologi keagamaan yang memiliki karakteristik
yang sangat berbeda.
Karakteristik
pemikiran dari kelompok pertama ini antara lain adalah tektualis, literalis,
formalis dan normatif-doktriner, meminjam bahasa. Arkun adalah nalar keagamaan
(al- 'aql al-diniy). Sementara karakteristik pemikiran yang kedua lebih kearah
pemikiran pluralis, humanis, liberalis dan kadang sekularis (al- 'aql al-falsajy).
Selanjutnya bagaimana sikap Rahman dalam menghadapi dua model tipologi
pemikiran dalam islam ini, utamanya ketika bersentuhan dengan tema studi hadis.
Tanpa disadari. perbedaan di atas ternyata menyadarkan Rahman berusaha
membangun konsep-konsep sunah dan hadis yang lebih general dan tidak parsial.
Dari pengalaman ini pula Rahman banyak menjumpai perbedaan-perbedaan yang
sangat tajam dari dua tipologi pemikiran di atas. Antara satu dengan yang
lainnya sama-sama eksklusif, tidak pemah ada titik temunya Berawal dari
kenyataan ini kegelisahan-kegelisahan akademis Rahman mulai menampak. Dari
kenyataan di at.as, membuat Rahman lebih inklusif (terbuka) dalam menangkap dan
memformulasi konsep-konsep sunah dan hadis, dan berusaha mengernbalikan posisi
hadis pada posisinya semula, yaitu menjadi sunah atau tradisi yang hidup
Bentuk kegelisahan
Fazlur Rahman yang dialamatkan pada kelompok tradisional di atas antara Iain
adalah mereka tidak saja berusaha untuk memformalisasikan sebuah hadis, namun
lebih itu mereka juga berusaha untuk menjadikannya sebagai ketetapan yang
bersifat mutlak. Memang upaya-upaya fonnalisasi dan pennanenisasi kepada
sintesa terhadap sunah yang hidup, utamanya pada abad kesatu, kedua dan ketiga
hijriah, pada masanya tidaklah bisa ditunda Iagi. dengan kata Iain sangat
urgen. Mengingat proses yang berkelanjutan tanpa upaya-upaya formalisasi clan
permanenisasi terhadap sintesa dari sunah yang hidup, maka pada moment-moment
tertentu akan dapat memutuskan kesinambungan proses itu sendiri dengan
menghancurkan identitasnya.
Pada tingkatanya ini Rahman masih banyak persamaan
dan masih banyak persamaan-persamaan pandangan dengan mereka, dalam artian
menyetujuinya Namun begitu upaya mereka sudah berada pada tingkat upaya-upaya
penetapan terhadap hadis secara mutlak, maka Rahman mulai merasakan berbagai
persoalan-persoalan baru dalam Islam. Dengan kata Iain berarti ia memiliki
tugas baru untuk memodifikasikan dan menegaskan kembali atas kemutlakan
itu. Atas dasar usaha-usaha untuk
memutlakan hadis ini, tidak menutup kemungkinan munculnya beberapa hadis
detenninistik, demikian menurut Rahman. Bahkan masih menurutnya, peradaban
Islam itu akan lumpuh ketika penafsiran terhadap al-Qur'an dan al-Sunah
berhenti sebagai sunah yang hidup, Iebih-lebih ketika ia dipandang sebagai
perwujudan kehendak Tuhan.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pendekatan tekstual dan Kontekstual sangat berarti dalam
pemahaman keilmuan hadits. Dengan pendekatan tekstual dan kontekstual kita
ketahui bahwa suatu hadits muncul tidak serta merta begitu saja, melainkan
karena ada sebabmusababnya. Pendekatan tekstual lebih cenderung berlaku pada
ibadah mahdah (murni) antara hubungan manusia dengan Tuhan (Hablumminallah)
seperti Shalat misalnya.
Sedangkan pendekatan kontekstual lebih melihat pada
konteks historis, sosiologis dalam kultural dan temporal suatu hadits sehingga
dalam memahami hadits tidaklah begitu baku tapi lebih bijaksana dengan mengkaji
keadaan kontemporer masyarakat sekarang tanpa menghilangkan ruh dari nash hadits
tersebut.
B.
PENUTUP
Demikian
Makalah Pemahaman Tekstual dan Kontekstual Dalam memahami hadits hendaklah menuntut ilmu sebanyak-banyaknya berkenaan
dengan hal tersebut semisal studi hadits berkenaan dengan teori dan metodologi
karena masih banyak ditemukan yang keliru dalam memahami hadits sehingga lebih
frontal dan radikal. Setelah mempelajari pendekatan tekstual dan kontekstual
diharapkan mampu memahami hadits dengan benar.
DAFTAR
PUSTAKA
Ade
Budiman 2017 :” Modul Studi Hadist “ Komisi Pendidikan dan seni budaya
MUI Banten
Falzur
rohman 1988 : Islam methodology in history, islam abad pakistan, Islamic
Research institude
Danial
W. Brown 2000, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Kontemporer,Bandung,
Mizan
Depdikbud
RI 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka
Hasbi
Ash-Shiddieqy 1974, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, jakarta, Bulan
Bintang
Hawir
yuslem 1997 : Ulumul Hadit, Ciputat
Ibnu
Qutaibah 2008, Takwil Hadist-Hadist yang dinilai kontruktif, Jakarta, Pustaka
Azzam
Imam
Basyari Anwar 1987, Kamus Lengkap Indonesia-Arab, Kediri, Lembaga Pondok
Pesantren Al-Basyari.
Ilyas, 1999.
Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (Telaah terhadap Asbab al-Wurud),
Kutub Khazanah.
Jalaluddin
Rahmat 2000, Bunga Rampai Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
Jakarta: Paramadina
Komaruddin
Hidayat 1996, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina.
M.
Quraish Shihab1989, Studi kritis Atas Hadist Nabi SAW, Bandung: Desain Sampul
Muhammad
ibn Idris al-Syafi‛I 1982, Ikhtilaf al-Hadits (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1986), 164.=Afif Muhammad, “Kritik Matan
Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi saw.”.
Said
Agil Husin Munawwar 2001, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan
dan pengembangan Bahasa 1998, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka.
Mohamad
Baharudin 2012 : Buku pintar Hadit, Qibla, Jakarta Barat
Waryono
Abdul Gafur 2002, “Epistemologi Ilmu Hadis, dalam Bunga Rampai Wacana Studi Hadis
Kontemporer” Yogyakarta, Tiara Wacana.
Asjmuni Abdurrahman , Tekstual,
Kontekstual dan Liberal”, http://www.manhaj.htm; diakses tanggal 16
September 2021
M.
Quraish Shihab, “Hubungan Hadis dan Al-Qur‟an”, http://
www.media.isnet.org.Hadis.html; diakses tanggal 16 September 2021
Nurcholish
Madjid 1988, “Pertimbangan Kemaslahatan dalam Menangkap Makna dan Semangat
Ketentuan Keagamaan”, dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta:
Pustaka Panjimas.
Liliek
Channa AW,Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual, Jurnal Studi
Keislaman, vol xv no 02, Desember 2011, hal 396,http://
ejurnal.iainmataram.ac.id/ index.php/ulumuna/article/view/205/pdf_98Edi Safri,
Al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, diakses 16
September 2021
[1]
Ade Budiman 2017 :” Modul Studi Hadist “ Komisi Pendidikan dan seni budaya MUI
Banten
[2]
Q.S Al-Imron 3:32
[3]
Waryono Abdul Gafur, “Epistemologi Ilmu Hadis”, dalam Bunga Rampai Wacana Studi
Hadis Kontemporer, ed. Hamim Ilyas dan Suryadi (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002), 11.
[4]
Danial W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Kontemporer (Bandung:
Mizan, 2000), 11.
[5]
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), 178-182
[6]
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1988), 458.
[7]
Imam Basyari Anwar, Kamus Lengkap Indonesia-Arab (Kediri: Lembaga Pondok
Pesantren Al-Basyari, 1987), 216.
[8]
Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (Telaah terhadap Asbab al-Wurud)”,
Jurnal Kutub Khazanah, no. 2 (Maret, 1999), 87.
[9]
Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis”, dalam Bunga..., 141.
[10]
Asjmuni Abdurrahman, “Tekstual, Kontekstual dan Liberal”,
http://www.manhaj.htm; diakses tanggal 15 September 2021
[11]
Tim Penyusun Kamus
Pusat Pembinaan dan
pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1998), hlm 916.
[12]
Suryadi, “Rekonstruksi..., 138.
[13]
Jalaluddin Rahmat, Bunga Rampai Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah
(Jakarta: Paramadina, 2000), 224-35
[14]
M. Quraish Shihab, “Hubungan Hadis dan Al-Qur‟an”, http://
www.media.isnet.org.Hadis.html; diakses tanggal 16 September 2021
[15]
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996), 214
[16]
Lihat, Shahîh al-Bukhârî, hadis no. 2117, 4122, 2813. Lihat Shahîh Muslim,
hadis no. 1771. Lihat Sunan Abû Dâwud, hadis no. 3101. Lihat Sunan Nasa‟i,
hadis no. 710. Lihat pula, Musnad Imâm Ahmad, hadis no. 2472
[17]
Nurcholish Madjid, “Pertimbangan Kemaslahatan dalam Menangkap Makna dan
Semangat Ketentuan Keagamaan”, dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 12-27.
[18]
Muhammad ibn Idrîs al-Syâfi‛î, Ikhtilâf al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Kutub
al-‛Ilmiyyah, 1986), 164.
[19]
Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi
saw.”, Jurnal al-Hikmah, no. 5 (Maret-Juni 1992), 25.
[20]
Liliek Channa AW,Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual, Jurnal
Studi Keislaman, vol xv no 02, Desember 2011, hal 396,http://
ejurnal.iainmataram.ac.id/ index.php/ulumuna/article/view/205/pdf_98Edi Safri,
Al-Imâm al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Tesis. Diakses 16
September 2021
[21] Mohamad
Baharudin 2012 : Buku pintar Hadit, Qibla, Jakarta Barat hal 123
[22] Hawir
yuslem 1997 : Ulumul Haditو Ciputatو Hal 86
[23]
Dr.H. Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001), hlm
25
[24]
Qs. al-Najm (53): 4-5
[25]
Falzur rohman 1988 : Islam methodology in history, islam abad pakistan, Islamic
Research institude hal. 88
Komentar